Setelah semua peluh yang tercecer
Penuh duka meski tak terlihat lara
Rasanya satu satunya penghargaan yang kudapat adalah
Melihatmu memalingkan raga
Berbalik arah sudah sang sarira
Lantas melangkah tak lagi mengindahkan cerita-cerita yang sudah
Tidak akan terasa pedih, mereka bilang?
Bagaimana bisa, renjana cinta yang aku pegang erat-erat
Menghilang begitu saja tanpa kata pisah
dan mereka mengatakan tidak akan terasa pedih?
Payah!
Maka dimana bisa kupelajari
Mengikhlaskan apa yang sebenarnya tidak mati
Tanpa harus merasakan perih?
Coretan Hari Ini
Senin, 17 Desember 2018
Kamis, 29 November 2018
Sepenggal Kisah Hari itu ( Part 2)
Sudah mulai memasuki musim penghujan. 23.50. Malam ini hujan turun. Satu-satunya kalimat yang pernah kutulis paska kita tak lagi menjadi kata adalah “Sudah mulai musim penghujan. Celakanya, banjir dimana-mana. Syukurnya, hatiku tak lagi ada pada musim yang sama. Tidak ada lagi banjir di pelupuk mata”. Ya, memang benar. Tapi, melupakan tak harus menghapus rindu, bukan?
Semoga kalian tidak bosan. Akan aku ceritakan sedikit kenangan, yang hanya pada kalian aku bisa bagikan.
Malam itu, di musim yang sama, kita baru saja berpisah setelah melalui malam minggu seperti kebanyakan anak muda lainnya. Ah, jangan dibilang lebay. “Nanti kabarin, ya.” menjadi satu-satunya pemberitahuan wajib setelah genggaman tangan sudah mulai terpisah jarak. Seperti tidak ingin ada rindu, masih saja ada obrolan tengah malam memanfaatkan fitur telfon gratis, hehe.
“hujan.” katamu. Aku mengiyakan.
“Coba sini kamu ke rumah, rasain gimana dinginnya”, kamu melanjutkan. Lagi-lagi aku hanya mengiyakan.
“Semoga, aku gak kaya gini ya ke kamu” katamu. Tidak, dong! Aku tidak mengiyakan kali ini.
“Kayak gini gimana?” tanyaku.
“Gak dingin” jawabmu. Aku terdiam. Kemudian mengAamiini.
Sayangnya, malam ini, di musim yang sama, hati kita tak lagi sama. Bukan lagi dingin, tapi sudah membeku. Fitur chat gratis tak lagi bisa membantu, bahkan hanya untuk sekedar menanyakan bagaimana kabarmu. Kalau nanti Antartikamu mulai mencair, jangan lupa selalu ada Padang Gurun yang siap menghangatkan jalan kepulanganmu.
Semoga kalian tidak bosan. Akan aku ceritakan sedikit kenangan, yang hanya pada kalian aku bisa bagikan.
Malam itu, di musim yang sama, kita baru saja berpisah setelah melalui malam minggu seperti kebanyakan anak muda lainnya. Ah, jangan dibilang lebay. “Nanti kabarin, ya.” menjadi satu-satunya pemberitahuan wajib setelah genggaman tangan sudah mulai terpisah jarak. Seperti tidak ingin ada rindu, masih saja ada obrolan tengah malam memanfaatkan fitur telfon gratis, hehe.
“hujan.” katamu. Aku mengiyakan.
“Coba sini kamu ke rumah, rasain gimana dinginnya”, kamu melanjutkan. Lagi-lagi aku hanya mengiyakan.
“Semoga, aku gak kaya gini ya ke kamu” katamu. Tidak, dong! Aku tidak mengiyakan kali ini.
“Kayak gini gimana?” tanyaku.
“Gak dingin” jawabmu. Aku terdiam. Kemudian mengAamiini.
Sayangnya, malam ini, di musim yang sama, hati kita tak lagi sama. Bukan lagi dingin, tapi sudah membeku. Fitur chat gratis tak lagi bisa membantu, bahkan hanya untuk sekedar menanyakan bagaimana kabarmu. Kalau nanti Antartikamu mulai mencair, jangan lupa selalu ada Padang Gurun yang siap menghangatkan jalan kepulanganmu.
Selasa, 06 November 2018
Sepenggal Kisah Hari Itu (Part 1)
Cerita ini akan aku awali dengan kata "maaf". Maaf, aku menuliskan kembali kisah kita. Bukan belum melepaskan, hanya saja, ada yang terlalu indah untuk sekedar dibuang sia-sia.
Hari ini, aku melewati jalanan yang biasa kita lewati waktu itu. Ah, rasanya tidak perlu dijelaskan kapan kita, tunggu, aku ralat ya, bukan kita, tapi aku dan kamu. Aku dan kamu sepakat "kita" cukup geli untuk diucapkan, hehe. Kembali lagi, rasanya tidak perlu dijelaskan kapan aku dan kamu melewati jalanan ini. Kalian tentu tau.
"Mereka ngapain ya keluar rumah, keluar Kos-an cuma buat duduk disitu?" Tanyaku sambil melewati jalanan itu. Bayangkan saja, sepanjang jalan, penuh dengan kursi trotoar yang diisi orang-orang yang sedang berduaan. Kamu diam. Sesekali melirik ke kaca spion, tertawa melihatku yang sedikit penasaran, sepertinya.
"Aku kasih kamu satu juta deh" katamu.
"Buat apa?" Aku bingung.
"Aku tantang kamu duduk disitu. Kalau kamu mau, aku kasih kamu satu juta" katamu sambil tertawa.
"Kalau gamau?" Tanyaku. Melihatmu dari kaca spion juga. Menyenangkan.
"Yasudah, kita putus" katamu. Aku diam. Cemberut.
"Kita nikah aja, nanti aku kasih kamu berapa aja yang kamu mau, tanpa harus duduk disitu" katamu.
"Cie, kita." Aku tersenyum. Manis, katamu. Senyumku makin menjadi.
Hari ini, aku lihat deretan kursi itu. Ada seutas senyum dengan raut wajah bahagia disana. Kamu dan dia. Tolong sampaikan padanya, ada sedikit ucapan selamat dariku. Selamat! Semoga dia yang akan mendapatkan satu juta darimu. Aku tetap baik-baik saja.
Hari ini, aku melewati jalanan yang biasa kita lewati waktu itu. Ah, rasanya tidak perlu dijelaskan kapan kita, tunggu, aku ralat ya, bukan kita, tapi aku dan kamu. Aku dan kamu sepakat "kita" cukup geli untuk diucapkan, hehe. Kembali lagi, rasanya tidak perlu dijelaskan kapan aku dan kamu melewati jalanan ini. Kalian tentu tau.
"Mereka ngapain ya keluar rumah, keluar Kos-an cuma buat duduk disitu?" Tanyaku sambil melewati jalanan itu. Bayangkan saja, sepanjang jalan, penuh dengan kursi trotoar yang diisi orang-orang yang sedang berduaan. Kamu diam. Sesekali melirik ke kaca spion, tertawa melihatku yang sedikit penasaran, sepertinya.
"Aku kasih kamu satu juta deh" katamu.
"Buat apa?" Aku bingung.
"Aku tantang kamu duduk disitu. Kalau kamu mau, aku kasih kamu satu juta" katamu sambil tertawa.
"Kalau gamau?" Tanyaku. Melihatmu dari kaca spion juga. Menyenangkan.
"Yasudah, kita putus" katamu. Aku diam. Cemberut.
"Kita nikah aja, nanti aku kasih kamu berapa aja yang kamu mau, tanpa harus duduk disitu" katamu.
"Cie, kita." Aku tersenyum. Manis, katamu. Senyumku makin menjadi.
Hari ini, aku lihat deretan kursi itu. Ada seutas senyum dengan raut wajah bahagia disana. Kamu dan dia. Tolong sampaikan padanya, ada sedikit ucapan selamat dariku. Selamat! Semoga dia yang akan mendapatkan satu juta darimu. Aku tetap baik-baik saja.
Jumat, 02 November 2018
Teruntuk Mereka yang Ditinggalkan
Maka setiap yang pergi, akan meninggalkan rindu
Setiap yang rindu, akan meninggalkan tangis
Tak terlihat bukan berarti baik-baik saja
Manusia mana, yang hatinya tetap sehat, yang otaknya tetap waras, ketika yang dicinta meninggalkannya
Tak apa...
Akan selalu ada tangan yang siap menerima genggammu ketika tak lagi ada kuat di hatimu
Tak apa...
Akan selalu ada raga yang siap menerima pelukmu ketika tak lagi kuat mata membendung tangismu
Ia yang kau rindu, tentu bahagia dengan perginya
Manusia mana yang tak bahagia mendapat rumah baru
Meski nyatanya, rumahmu dan rumahnya tak lagi ada pada dimensi yang sama.
Setiap yang rindu, akan meninggalkan tangis
Tak terlihat bukan berarti baik-baik saja
Manusia mana, yang hatinya tetap sehat, yang otaknya tetap waras, ketika yang dicinta meninggalkannya
Tak apa...
Akan selalu ada tangan yang siap menerima genggammu ketika tak lagi ada kuat di hatimu
Tak apa...
Akan selalu ada raga yang siap menerima pelukmu ketika tak lagi kuat mata membendung tangismu
Ia yang kau rindu, tentu bahagia dengan perginya
Manusia mana yang tak bahagia mendapat rumah baru
Meski nyatanya, rumahmu dan rumahnya tak lagi ada pada dimensi yang sama.
Rindu Aga
Tiba-tiba saja malam ini aku rindu Aga. Bagaimana denganmu?
Kok bisa? Pasti begitu tanyamu. Eits, hanya saja aku tidak menceritakannya padamu. Kalimat sebelum kalimat ini, hanya imajinasi andai saja aku bercerita padamu. Rumit, hehe.
Tidak hanya Aga, aku merindukan suasana sore itu. Tentu kamu tau, aku bukan pecinta kopi, apalagi teman mengopi yang asyik. Tapi ternyata, kedai kopi bisa jadi satu dari sekian banyak kenangan kita.
Kalau tidak salah ingat, kita duduk menghadap jalan sore itu. Kamu marah. Karena aku tertawa membalas pesan orang lain. Iya, aku salah. Hehe. Masih bisa tertawa aku saat itu. Kamu hanya cemberut. Duduk membelakangiku.
Gerimis. Kemudian tiba-tiba saja menjadi deras. Yang aku ingat, hari itu sejak pagi hujan sudah membasahi kotamu. Kamu bilang sih kotamu dan kotaku ini beda. Padahal, jaraknya tak lebih jauh dari aku dan kamu saat ini.
Tunggu, ini cerita soal rinduku pada Aga. Bagaimana kabar Aga? Pertama kali bertemu Aga, ganteng, yang aku pikirkan. Kamu marah, lagi. Aku lebih suka bermain dengan Aga di kedai kopi kesukaanmu.
Rasanya, aku ingin menceritakan banyak sekali tentang Aga. Tapi sampai kalimat yang belum ingin aku akhiri ini, selalu ada tentangmu di setiap kenangan bersama Aga. Sepertinya tak hanya Aga, tak hanya kedai kopi, tapi aku juga merindukanmu. Hehe, maaf ya, Aga.
Penutup ceritaku ini, aku yakin Aga hanya mengeong. Mengiyakan, tidak apa-apa jika aku merindukanmu. Bagaimana denganmu? Ah, sudahlah. Bagaimanapun, aku merindukan Aga.
Langganan:
Postingan (Atom)